Pandangan Kesehatan Mental di Balik Kesunyian Mahasiswa
October 10, 2019
Mutiara
Terbilang seorang mahasiswi, Kate Aschoff, yang duduk di bangku kuliah jurusan Sosiologi di Victoria University of Wellington pada tahun 2017.
Tapi jalan menuju kelulusan tidak berlangsung melalui awal yang baik -- sesuai dengan apa yang ditulisnya di The Spinoff. Kate tidak sanggup lagi untuk mengikuti kelas, tidak sadar akan apa yang terjadi di dalam ruang kelas, dan pernah mengalami serangan panik (anxiety attack) di toilet kampus.
Setelah berbincang dengan orangtua dan teman-temannya mengenai ini, Kate berkeputusan untuk drop out saja.
Sebuah krisis?
Stress is severely affecting the lives of university students - here's what we need to do https://t.co/GjEuX94AVJ #education #mentalhealth pic.twitter.com/FR6qUpVt1a
— World Economic Forum (@wef) April 2, 2019
Isu pada kesehatan mental merupakan isu bertambah yang dialami mahasiswa. Anxiety (kegelisahan) dan depresi adalah gangguan yang paling umum dilaporkan oleh mahasiswa, menurut banyak studi.
Sebuah laporan Reuters mengungkapkan bahwa diagnosis kesehatan mental semakin meningkat. Di satu sisi, terdapat peningkatan sebesar 37% juga terhadap kemauan mahasiswa untuk mencari bantuan sekiranya diperlukan.
Sebuah studi oleh American Academy of Family Physicans (AAFP) juga mencatat bahwa selain depresi dan anxiety, pencetusan untuk bunuh diri (suicidal ideation), gangguan stres pascatrauma (PTSD), gangguan tidur, dan kelainan kebiasaan makan juga banyak ditemukan dalam lingkungan mahasiswa.
Selain itu, gangguan jiwa tidak hanya mewabah dalam anggota mahasiswa sarjana saja, tapi termasuk mahasiswa pascasarjana juga sehingga membuat kekhawatiran yang sama.
Hal ini tidak hanya memberi kecemasan akan dampak yang dialami performa akademik tapi juga kehidupan personal masing-masing.
Apa alasan dari masalah kesehatan mental mahasiswa?
"Stigma appears to be decreasing, more students are seeking help, earlier, and campus services are usually easy to find and typically more responsive and appealing to students." #mentalhealth https://t.co/NX9IKFzIZh
— University Affairs (@UA_magazine) January 13, 2019
Profesor dari Department of Psychiatry and Behavioural Neuroscience di McMaster University mengungkapkan bahwa sementara stigma akan pencarian bantuan untuk gangguan mental telah berkurang, umumnya tidak diambil oleh mahasiswa yang paling membutuhkan bantuan.
“Akibat dari kurangnya dana terhadap bantuan untuk kesehatan mental dan kecanduan pada tingkat nasional dan provinsi. Sehingga mengakibatkan mahasiswa yang terus masuk ke dalam ruang kampus, bukannya ke pintu ruang bala bantuan walaupun mereka terus mengalami gangguan mental yang parah.”
Intinya, pesan yang tersirat dalam artikelnya termasuk:
-
Seluruh kampus, institusi, dan komunitas di luar kampus perlu membantu mahasiswa
-
Menggarisbawahi keadaan mahasiswa apabila telah diberikan pendirian yang cukup yang menjembatani mereka untuk bertahan dan berjuang dalam perkuliahan dan dunia diluarnya
-
Mendengar terhadap mahasiswa -- ini berarti melibatkan orangtua menanyakan anak-anaknya akan kabarnya, dan bersiap akan jawaban yang mungkin tidak ingin mereka dengar
-
Memeriksa sistem dan proses pendidikan dan kesehatan untuk meninjau apabila memberikan bantuan atau malah membahayakan kesehatan mental, dan seberapa fleksibel kepada kalangan anak muda.
Kickstart your education in Malaysia
We'll help you find and apply for your dream university
You might be interested in...
- 8 Pekerjaan Anti-Stres Tapi Bergaji Tinggi
- 10 Jurusan Yang Peminatnya Semakin Tinggi di 2020
- Jurusan Mana Yang Punya ROI Tertinggi?
- S2: Jalan Pintas Untuk Gaji Yang Lebih Tinggi?
- Inilah Bagaimana Nilai Kuliah Mempengaruhi Gajimu
- Hemat Biaya Hidup Sekalian Menjaga Lingkungan Untuk Mahasiswa
- Langkah Mencapai Finansial Independen Setelah Lulus
- 7 Kartu Kredit Terbaik Bagi Mahasiswa 2020
- Kartu Kredit Bagi Calon Mahasiswa, Ide Yang Baik?
- Efek Gelar Sarjana Pada Gajimu